Konawe Selatan, Potret Kebhinekaan Indonesia

1 Juli 2015 dari Surabaya aku terbang menuju Kendari rehat sejenak di Makassar. Bumi Sulawesi yang indah, pertama kali aku menginjakkan kaki disini, pun pertama kali langkah ini melangkah keluar dari tanah jawa dan sumatera. Tergabung bersama tim KKN PPM UGM STG-01 penempatan Konawe Selatan kami menatap hari-hari kedepan dengan semangat pembelajaran. Genap dua bulan kiranya kami akan belajar disini. Hingga akhirnya tulisan ini dibuat tak terasa kami dicukupkan tugas oleh waktu, dua bulan yang tidak terasa, kami kira ini pengabdian, ternyata ini semua adalah pembelajaran, mahasiswa belajar kepada masyarakat.

Terlalu berat mengangkat diksi mengabdi padahal kontribusi masih jauh dari visi. Tapi tak apa masyarakat senang, kami pun senang hingga mereka bercerita menangis ketika berpisah. Kami memulai pembelajaran di awal Ramadhan, 1 Ramadhan tepatnya. Pembelajaran pertama adalah bersilaturahmi dengan masyarakat desa beserta tokoh dan ulama. Ada hal menarik di rumah tempat kami tinggal, saya tergabung dalam sub-unit Andoolo Utama nama desa yang dikepalai oleh Pak Yanto. Kami tinggal di rumah pak yanto, saya sebut rumah itu adalah rumah kebhinekaan, satu rumah dengan 3 pemeluk agama yang menghuni.

Pak Yanto dan keluarga adalah penganut hindu dan merupakan transmigran dari jawa, adiknya memilih menjadi muslim sedangkan pembantunya menjadi kristiani. Mereka tinggal satu rumah, kebetulan rumah tempat kami tinggal besar dan luas, ditambah kami anak KKN sebanyak 6 orang yang semuanya muslim, saya melihat miniatur Indonesia di rumah ini. Semua merayakan ramadhan bahkan Pak Desa dan Bu desa sesekali ikut berpuasa dan selalu makan bersama saat buka ataupun sahur. Kebetulan saat idul fitri bersamaan dengan galungan dan kuningan jadi semakin ramai lah rumah dengan acara silaturahmi, potret kebihnekaan yang saya lihat disini. Berbicara program pemberdayaan masyarakat, sebenarnya cukup banyak yang kami lakukan disini mulai dari pelaksanaan pembuatan energi alternatif briket, pelatihan pembuatan nata de coco, pelatihan pembuatan VCO, mengajar anak-anak, pengajian dan TPA, pelatihan kerajinan batok, pembuatan biogas dan banyak program-program kecil lainnya. Semua menikmati dan hasilnya cukup baik.

Program-program pokok tersebut disesuaikan dengan kekayaan tumbuhan kelapa yang sangat banyak disini, kami berharap dapat memanfaatkan kelapa mulai dari akar sampai limbah batoknya, maka dari itu program tersebut merupakan diversifikasi kekayaan yang dimiliki kabupaten konawe selatan khususnya kecamatan Buke tempat unit kami bekerja. Selain itu kami juga mengadakan sosialisasi pendidikan tinggi ke sekolah menengah atas di kecamatan Buke. Kami juga membentuk kelompok ilmiah remaja di sekolah tersebut. Melihat kualitas pendidikan benar adanya setiap daerah belum merata, kami pun merasakan disini masih tertinggal dari jawa secara fasilitas dan kualitas pendidikan itu sendiri, disinilah kami mencoba memberi gagasan dan aksi kongkrit yang sekiranya mampu membuat sistem tersebut menjadi lebih baik, dengan melibatkan guru dan para siswanya.

Tak terasa dua bulan berlalu, pembelajaran yang begitu banyak kami dapatkan terutama tentang makna kebhinekaan, kebetulan kecamatan buke merupakan kecamatan yang desa-desanya terdiri dari masyarakat transmigran mulai dari jawa, bali, dan nusa tenggara. Masyarakat tersebut mengisi rumah-rumah di  tiap desa, negeri ini diperkaya dengan masyarakat asli Sulawesi seperti tolaki, bugis, muna, bajo, toraja dsb. Tentunya silaturahmi tidak terputus kami masih berkomunikasi dengan masyarakat desa, guru dan anak muda di desa-desa tersebut berharap dapat bertukar fikiran dan gagasan untuk kemajuan desa yang lebih baik. Ya, sekali lagi ini soal pembelajaran, jauh betul bicara pengabdian, karena pengabdian adalah kontribusi tanpa batas !