(dimuat di selasar.com februari 2015)
Sudah lebih seratus hari kiranya Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ditetapkan dan menjalankan roda pemerintahan nasional. Banyak harapan yang tertampung di punduk masing-masing negarawan yang lima tahun ke depan akan mengkhidmatkan diri untuk kesejahteraan seluruh tumpah darah Indonesia.
Seperti tradisi terdahulu, seratus hari masa kepemimpinan menjadi titik nadir dalam mengevaluasi dan meramal bagaimana kepemimpinan di masa lalu dan masa mendatang. Pakar Politik pun banyak mengeluarkan rilis dan sikap terkait jalannya pemerintahan, tak mau ketinggalan aktivis mahasiswa juga turut serta mengambil peran dalam mengevaluasi roda pemerintahan 100 hari kebelakang.
Sikap penolakan dan demonstrasi kerap muncul, apresiasi pun juga muncul di berbagai kalangan, semua bebas berbicara dalam negara demokrasi ini, namun sebagai intelektual respon konstruktif lah yang harusnya didahulukan.
Pada kesempatan ini penulis mencoba memberikan opini dalam konteks kedaulatan energi.
Nawa Cita dalam konteks Kedaulatan Energi Nasional.
Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian menjadi sebuah kalimat awal yang dilayangkan dalam buku kampanye visi misi dan program aksi Jokowi-JK 2014.
Menjanjikan Bangsa ini menentukan nasibnya sendiri, bergantung pada sumber daya alam dan sumber daya manusianya, serta memunculkan sikap sebuah bangsa sebagai jati dirinya, masyarakatnya serta semangatnya dalam menghadapi tantangan menjadi point of view dari tiga kalimat sakti diatas tadi.
Menyoroti Janji kedaulatan Energi dalam Nawa Cita Jokowi-JK maka kita akan menyimpulkan tujuh poin dedikasi untuk membangun kedaulatan energi:
- Merancang strategi untuk menjaga dan meningkatkan produksi minyak bumi
- Mengurangi Subsidi BBM dan Menjaga Penyediaan Energi Murah
- Nasionalisasi Industri Migas yang tangguh
- Strategi Cerdas untuk Energi Terbarukan
- Strategi Cerdas mengatasi kelangkaan listrik
- Komitmen membangun infrastruktur baik sektor hulu dan hilir
- Teknologi Hemat Energi
Tujuh Poin Dedikasi ini yang ditawarkan oleh Jokowi-JK saat berkampanye. Sebuah janji visioner yang terlahir dari diferensiasi cita-cita Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian.
Kondisi Energi Nasional Satu Dekade kebelakang
Tata Kelola Migas Nasional menjadi sorotan sejak ditetapkannya UU liberal (UU No. 22 Tahun 2001) yang menghapus fungsi Pertamina sebagai Regulator, dan mensejajarkan Pertamina dengan Perusahaan swasta. Diperparah dengan lahirnya BP Migas pada Juli 2002 yang kemudian dibubarkan MK pada November 2012.
SKK Migas kemudian lahir pada 2013 sebagai subtituen dari BP Migas. Kepentingan Politisi busuk pro asing membuat sistem tata kelola migas semakin parah, tumbuh dan berkembangnya mafia migas di tataran elit membuat negeri ini dijual perlahan-lahan.
Melihat Data dari IRESS (Indonesian Resources Studies) tahun 2014 disebutkan bahwa Produksi Minyak Indonesia diperoleh 15% dari Pertamina dan 85% asing. Begitu sedikitnya persentase dari satu-satunya perusahaan tambang minyak nasional dalam hal produksi.
Data ini dapat menggambarkan efek liberalisasi migas yang lahir dari impelementasi UU No. 22 Tahun 2001. Bukan Hanya Migas, ESDM menyebutkan pada Tahun 2009 Batubara Nasional dikuasai oleh asing sebesar 70% dan Menurut pakar geologi ESDM 2011 stok batubara akan habis pada tahun 2081.
Hal ini semakin diperjelas oleh direktur jendral minerba bahwa pada tahun 2011 sekitar 273 ton batubara diekspor dan hanya 80 juta ton yang digunakan untuk keperluan negeri.
Menggagas Kedaulatan Energi Nasional
Dari beberapa referensi tulisan, penulis menyimpulkan ada 4 langkah yang menjadi rekomendasi dalam mewujudkan kedaulatan energi nasional diantaranya :
Revisi UU Migas
Kembali penulis sebutkan bahwa UU. No 21 Tahun 2001 adalah UU pro asing, kongkritnya kedudukan pertamina sejajar dengan perusahaan swasta. UU inilah yang menyebabkan lahirnya BP Migas yang mengambil fungsi regulasi dari pertamina. Dampak dari UU ini adalah banyak praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam sistem tata kelola migas terkhusus di tataran elit.
Investor dalam negeri pun kalah bersaing dengan investor asing, sehingga wajar pertamina mendapatkan persentase yang sangat jauh lebih kecil ketimbang perusahaan asing.
Indonesia bisa belajar dari UU Hidrokarbon Venezuela di era Chavez memimpin. UU ini mampu membalikkan keterpurukan Perusahaan Nasional Migas Venezuela yang dulunya merugi kini menjadi tiga besar perusahaan migas terbesar didunia.
Nasionalisasi Blok Tambang dan Migas
Angin segar melanda aktivis kedaulatan energi ketika mendengar pada November 2014 Pemerintah Tegaskan Blok Migas terbesar yaitu Blok Mahakam pada tahun 2017 akan dikembalikan ke pertamina sebagai pengelola, blok mahakam menjadi isu besar dalam dekade saat ini, bagaimana tidak sebagai blok penghasil migas terbesar nasional tentu menjadi sumur subur dalam meningkatkan produksi minyak nasional dan keuntungan perusahaan nasional (pertamina).
Isu lain yang saat ini sangat berkembang adalah masa depan freeport. Kontrak freeport akan habis pada tahun 2021. Jika dihitung memang cukup lama, namun jika dikalkulasikan dengan persiapan nasionalisasi itu cukup singkat.
Pemerintah harus melakukan langkah strategis dalam mengawal perusahaan tambang terbesar di timur Indonesia itu, bukan hal mudah mengingat freeport yang sudah sangat lama mengibarkan benderanya di tanah kaya papua. Mengutip Kalimat Yudiatmaja “Renegosiasi bukan hal yang perlu diperjuangkan tapi nasionalisasi menjadi yang terpenting untuk direalisasikan”.
Berharap tidak ada lagi kamus renegosiasi dalam hal pengelolaan freeport, saya sepakat bahwa nasionalisasi adalah harga mati dalam pengawalan masa berakhir perusahaan tambang freeport.
Kembali melihat Chavez dan Venezuela dalam hal nasionalisasi migas, tegas mereka menunjukkan bahwa itu bukanlah nasionalisasi buta melainkan renegosiasi yang menguntungkan negara ataupun asing meskipun porsi kepemilikan negara menjadi lebih besar.
Begitu suburnya PDVSA sebagai perusahaan migas nasional yang dulunya amat merugi namun sekarang mampu menawarkan minyak murah bukan hanya bagi warganya tapi juga bagi warga miskin di new york, alaska dan london.
Pengurangan Subsidi BBM
Melihat Rekapitulasi data IISD untuk Total Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa tahun kebelakang kita akan menemukan Total Subsidi pada Tahun 2013, 2014 dan 2015 sebesar Rp. 199,9 T; Rp. 210,7 T; Rp. 291 T.
Total subsidi BBM sebesar 20% dari APBN 2014. Subsidi BBM adalah kebijakan yang paling dekat dengan masyarakat, domino effect dari kebijakan inilah yang selalu menjadi sorotan publik.
Subsidi memang sudah seharusnya dikurangi dan diarahkan untuk kebijakan lain namun yang selalu menjadi hantu adalah efek domino yang sangat dirasa rakyat kecil, ketika BBM naik wong cilik bakal memutar otak nya 180 derajat untuk mengatur keuangan mereka, sedang pejabat tak begitu pengaruh karena mereka masih akan menggunakan mobil mercy dan menikmati ruangan ber-AC.
Menurut saya yang perlu disoroti adalah tepat atau tidaknya sasaran penerima subsidi karena masih banyak masyarakat yang menggunakan mobil mewah menggunakan premium. Padahal sejatinya pertamax memiliki angka oktan yang lebih tinggi ketimbang premium sehingga mesin motor lebih awet itu dampak kedepannya.
Jadi pemerintah sebaiknya memikirkan rumusan kebijakan bagaimana premium ini benar-benar disubsidi untuk rakyat kecil. Meramal kebijakan subsidi ini, 2030 nanti jika subsidi tetap dipertahankan maka akan membengkak 2,3 kali dari yang sekarang.
Keberadaan subsidi BBM juga menahan laju diversifikasi energi terutama dari bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Belum lagi diversifikasi energi seperti biofuel dan energi alternatif lainnya yang sekarang hanya sebatas wacana biasa di Indonesia.
Ketergantungan terhadap bahan bakar minyak ini dapat membahayakan sebuah negara kedepan ketika adanya ancaman krisis minyak. Mengutip analisa pakar ekonomi dunia dari Amerika Serikat Dr. Nouil Roubini yang disampaikan dalam world economic forum, maret 2011, ancaman permanen terbesar dunia saat ini adalah kelangkaan dan tingginya harga energi dan pangan, sehingga mengakibatkan tingginya inflasi di banyak negara.
Diversifikasi Energi
Menurut Gede Priyana selaku Sekertaris SKK Migas, Cadangan Minyak bumi Indonesia sendiri (tanpa eksplorasi) akan habis dalam jangka waktu 12 tahun lagi. Hal ini akan menjadi ancaman bagi masa depan bangsa kedepan, mengingat Energi alternatif belum terlalu dibumikan oleh pemerintah
Melihat potensi energi alternati di Indonesia kita dapat melihat beberapa potensi, menurut Kajian HMTE ITB pada 2014 dikatakan bahwa apabila seluruh PLTG dan PLTGU di jawa menggunakan gas tanpa BBM, dikonversikan PLN menghemat 12 T, jika seluruh Indonesia akan menghemat 18 T.
Belum lagi jika kita menyoroti Energi Terbarukan, ESDM (2014) mengatakan Potensi EBT Indonesia ; Mini/mikro hidro 450 W, biomass 50 GW, Sel surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3-6m.det dan nuklir 3 GW. Begitu besarnya kekayaan energi alternatif di Indonesia yang belum dioptimalkan secara masif.
Belum lagi Energi panas bumi. Pertamina menyebutkan Potensi energi panas bumi di Indonesia mencakup40% potensi panas bumi dunia. Namun Energi panas bumi ini belum terlalu dimaksimalkan dalam hal konversi mengingat biaya produksinya. Apalagi energi panas bumi bukan lah energi konvensional yang laris dijual sehingga pemerintah enggan menyorotinya.
Nuklir juga masih menjadi hantu bagi masyarakat, kurangnya sosialisasi pemahaman terkait nuklir oleh pemerintah kepada masyarakat membuat energi alternatif ini secara makro enggan diilirik. Peristiwa Chernobyl dan Fukushima membuat ketakutan sejarah bagi perkembangan nuklir di indonesia.
Brasil dapat dijadikan guru yang baik dalam implementasi kebijakan biofuel. Konsistensi Brasil dalam menggunakan biofuel menjadi teladan bagi negara-negara yang saat ini fokus dalam mengembangkan biofuel.
Bagaimana biofuel tidak berkembang pesat di brasil, sedangkan Presiden Luis Inacio Lula menjadikan biodisel sebagai prioritas utama. Jika di Indonesia ampas tebu dianggap sampah lain hal brasil menganggap ampas tebu adalah berkah. Industri alkohol mampu mendesak industri otomotif untuk menyesuaikan diri. Bayangkan hampir 90% mobil menggunakan alkohol sebagai bahan bakar.
Dalam meramu kebijakan tentu akan banyak opsi pilihan yang memiliki kelebihan dan kekurangan, yang dipilih tentu kebijakan yang benar-benar dirasakan kebermanfaatannya untuk masyarakat dan juga Indonesia masa depan.
Melihat Gagasan dari konsep Nawa Cita terhadap Kedaulatan Energi Nasional, adalah langkah strategis dari pemerintah yang harus disoroti mengingat belum terlihat dampak program nawa cita tersebut sepanjang seratus hari lebih pemerintahan Jokowi-JK ini.Janji adalah sesuatu yang harus ditagih, sebelum janji itu benar-benar hanyut dalam impian sudah sepatutnya rakyat mengingatkan dan menagih janji yang ditawarkan pemimpinnya saat meminta mandat dari rakyat.
“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai bangsa merdeka” -Ir.Soekarno
Referensi
Aliansi BEM se-UGM. (2014) “Cinta Gadjah Mada untuk Indonesia” : bit.ly/cintagadjahmada
Effendi Sirajuddin. (2014) Nation in Trap “Menangkal Bunuh Diri Negara dan Dunia tahun 2020”, Jakarta : Pustaka Pelajar
Fadjar Mulya dkk. (2014) “Menagih Janji Negarawan” : Baktinusa Dompet Dhuafa
Jokowi-JK. (2014). “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian”. Tim Pemenangan Koalisi Indonesia Hebat.