Saya bersama Aryo (rekan saya di MFB Baktinusa) memulai perjalanan dari Cengkareng di waktu shubuh, mengudara sekitar 3 jam sampai lah kami di Kota Tarakan, kota dimana dalam sejarah dikatakan sebagai tempat pertama kalinya jepang menginjakkan kaki di Indonesia. Logat melayu menyambut kedatangan kami di kota ini, kami hanya sebentar disini karena tujuan kami adalah Pulau Sebatik, tempat kami belajar mengabdi selama 1 bulan kedepan.
Program Marching for Boundary adalah program yang kami dapat sebagai fasilitas dari Beasiswa Aktivis Nusantara, kami mempunya tugas belajar dan berbagi kepada masyarakat di sebatik, nunukan, Kalimantan utara. Dari Tarakan kami melanjutkan perjalanan laut menuju Pulau Nunukan, perjalanan kami tempuh menggunakan speed boat dengan waktu 3 jam. Sesampai di Nunukan kami disambut kakak-kakak Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa, ada Kak Wiwi, Kak Dena dan Kak Rijal. Nunukan menjadi tempat untuk kami berdiskusi sambil makan siang bersama para guru hebat SGI.
Selanjutnya perjalanan kami teruskan menuju Pulau Sebatik, Kak Wiwi merupakan alumni SGI V yang dulu ditempatkan di sebatik dan sekarang menjadi guru tetap disana. Perjalanan menggunakan speed boat dengan rentang waktu satu jam. Dermaga Blambangan menyambut kami dengan rinai hujan, kami melanjutkan perjalanan dengan taksi menuju kantor camat, sebelum menuju kantor kami menjemput mbak harini, Guru SGI angkatan VI yang ditempatkan di Desa Sungai Limau.
Sesampai di Kantor Camat kami bertemu dengan Camat Sebatik tengah untuk bersilaturahmi sekaligus berdiskusi terkait kerjasama apa yang bisa dibuat, banyak gagasan-gagasan kreatif dari Pak Camat, Pak Camat sendiri merupakan camat muda yang progressif, beliau merupakan lulusan Hubungan Internasional Unhas. Pada Kesemapatan di kantor camat pula kami dipertemukan dengan Ibu Suraidah, beliau merupakan penggagas Sekolah Tapal Batas.
Pak Camat, Ibu Suraidah dan Mbak Wiwi bagi kami merupakan orang-orang inspiratif disini, mereka bersama-sama menggagas Sekolah Tapal Batas, Sibuk berfikir untuk kesejahteraan masyarakat disini. Benar adanya bahwasanya negeri ini masih banyak pejuang hebat yang jauh dari hingar bingar lampu sorot dan kemeriahan tepuk tangan.
1. Sekolah Tapal Batas
Sekolah Tapal Batas merupakan Sekolah yang diperuntukkan untuk anak-anak perbatasan, siswanya berasal dari dua negara, indonesia dan malaysia. Namun sesungguhnya mereka semua adalah tunas muda Indonesia, sebagian yang tinggal di Malaysia karena orang tua mereka adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI), karena Bapak Ibu mereka bekerja sebagai buruh di perusahaan malaysia, pendidikan pun sulit mereka akses, belum lagi keadaaan geografis di lingkungan sekolah tapal batas, tidak ada listrik, kesulitan air bersih dsb. Keresahan-keresahan tersebutlah yang membawa Pak Camat, Ibu Suraidah dan Mbak Wiwi menginfakkan diri mereka untuk mengabdi membangun daerah perbatasan dengan meretas sekolah perbatasan.
Sekolah Perbatasan sendiri tidak hanya sebatas kegiatan belajar mengajar, disini juga sebagai pos kesehatan daerah perbatasan, para TKI yang sakit akan sulit menerima akses kesehatan, posyandu pun cukup jauh. Pos Kesehatan Tapal Batas kemudian hadir memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Selain itu ada juga kelompok ibu-ibu yang membuat olahan makanan di sekolah tapal batas, olahan makanan yang banyak dibuat berbahan dari pisang, karena tumbuhan pisang sangat mendominasi disini. Olahan pisang sendiri dibuat menjadi cendol pisang, kerupuk pisang, nasi pisang, kue broncong dsb.
Biasanya hampir setiap pagi saya dan aryo sangat semangat menyambut hari uuntuk mengajar ke sekolah tapal batas. Karena memang jarak tempat kami tinggal menuju sekolah tapal batas cukup jauh kami menggunakan sepeda motor pinjaman bapak kepalada desa sungai limau. Tepat pukul 08.00 WIB kamipun tiba di sekolah. Mengajar anak TKI membutuhkan tenaga ekstra karena memang mereka sedikit tertinggal di banding anak-anak umumnya, bahkan jika tidak ada sekolah tapal batas ini mereka tidak akan mengenyam pendidikan mengingat sekolah umum cukup jauh dari sini. Untuk bersekolah disini mereka harus berjalan kaki sekitar satu setengah jam dari rumah mereka menuju sekolah.
Umumnya kami mengajarkan materi sekolah dasar ditambah dengan materi keprofesian, karena wawasan mereka terkait keprofesian hanya sedikit seperti guru, tentara dan polisi, parahnya mereka mengenal profesi tersebut dengan bahasa negara tetangga, tentara itu kombet, polisi itu polis dan guru adalah cikgu. Kami pun mengenalkan profesi lain seperti arsitek, ilmuwan, perawat, bankir dsb.
Selain mengajar keprofesian kami juga mengajarkan wawasan nusantara, karena memang mereka belum mengenal indonesia secara keseluruhan, bahkan jakarta dan bandung adalah katakata baru di memori mereka, dibandingkan kota-kota indonesia, kota di negara malaysia menjadi familiar bagi mereka terutama Kuala lumpur dan Tawau (kota negeri sabah).
Lelah juga mengajar mereka karena bagi kami ini pengalaman pertama mengajar dari pagi sampai sore. Ada pengalaman yang berkesan bagi kami dimana mereka berbelanja di warung sekolah menggunakan ringgit karena memang orangtua mereka berpenghasilan dengan ringgit. Ternyata saat kami mengajar bertepatan dengan shooting film eagle award dari eagle institute yang juga mengangkat sekolah tapal batas.
2. Inspirasi Pemimpin di Tapal Batas
Kuliah kepemimpinan pun kami dapat di sebatik, ini bukan kuliah kelas di ruangan tapi ini praktek kepemimpinan yang menginspirasi kami. Bapak Harman sebagai Camat Sebatik Tengah, Ibu Suraidah pendiri yayasan sekolah tapal batas dan Bapak Mardin kepala desa sungai limau. Ketiga tokoh tersebut telah mendapat penghargaan dari Negara. Pak Harman dan Pak Mardin di undang ke istana sebagai pemimpin berprestasi pun Ibu Suraidah sebagai Tokoh Pendidikan.
Adalah keikhlasan dan pengorbanan sebagai pemimpin yang dapat kami simpulkan dari beliau-beliau. Praktek kepemimpinan membumi mensyaratkan pengorbanan ikhlas kepada rakyat, itu yang dilakukan pak Harman saat memimpin sebatik tengah sehingga berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat sebatik tengah, totalitas dalam mengabdi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat. Pak Mardin pun begitu, Membangun desa dengan kelebihan rizki yang beliau miliki, beliau hanya ingin masyarakat terdidik dan sejahtera.
Mengutip perkataan kak wiwi selaku mentor kami di sebatik, “pak Mardin kalau untuk bangun desa ini sudah banyak yang ia keluarkan dari uang pribadinya, dari keuntungan berjualan hasil kebunnya”. Ibu Suraidah yang memiliki kepedulian besar terhadap nasib anak-anak, ditinggalkannya kesejahteraan yang beliau nikmati, tinggal di sekolah tapal batas bersama anak TKI dan para guru, beliau bangun sekolah dengan visi agar setiap anak Indonesia punya hak dalam akses pendidikan.
Sejatinya dapat dipastikan jika tidak ada sekolah tapal batas, anak-anak TKI yang bekerja di perbatasan Indonesia-Malaysia di Sebatik yang hanya berisi tanah perkebunan dan para buruh sangat sulit mendapat akses pendidikan. Keresahan tersebut menggerakkan relawan untuk hadir memberikan kebermanfaatan.
Kehadiran Pak Harman, Pak Mardin dan Ibu Suraidah bukan hanya menggerakkan sekolah tapal batas tapi juga kesejahteraan masyarakat sebatik tengah. Kami banyak belajar dari beliau-beliau, pun dengan Kak Wiwi dan Kak Rizal mentor kami yang membimbing kami belajar selama satu bulan di Sebatik Tengah. Kak Wiwi adalah Guru SGI 5 Dompet Dhuafa yang telah selesai mengabdi di sebatik dan beruntung berjodoh dengan Kak Rizal yang merupakan Staff pemerintahan Nunukan sehingga mereka menetap di sebatik dan mengabdikan diri untuk pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.
Gie benar “Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi
dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu
secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia
bersama rakyatnya dari dekat”.
Mereka pejuang sebatik telah membuktikannya, Mencintai Tanah Air dengan cara mengabdikan diri pada kesejahteraan rakyat. Salam Hormat kami untuk para pejuang sebatik : Pak Harman, Ibu Suraidah, Pak Mardin, Kak Wiwi, Kak Rizal, Relawan Sekolah Guru Indonesia dll