Hampir Punahnya Karakter Prajurit Intelektual pada Gerakan Mahasiswa

  • Post author:
  • Post category:Essay

(dimuat di selasar.com februri 2015)

 

Masih terngiang dalam benak saya begitu membakarnya semangat yang disuarakan oleh seorang Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di Fakultas saya saat berorasi menyambut Orientasi Pengenalan Kampus. Hidup Mahasiswa Indonesia! Hidup Rakyat Indonesia!

Ungkapan yang saat itu ia katakan seakan meruntuhkan jembatan pembatas antara Mahasiswa dan Masyarakat, orasi sekitar 15 menit itu seakan menjadi katalis agar mahasiswa selalu dekat dan berjuang bersama rakyat.

“Hanya sebagian orang saja yang terlihat memiliki nyawa-nyawa negarawan muda, begitupula dengan BEM, sedikit sekali yang mau bergerak berdasarkan nalar intelektual namun cenderung melampiaskan birahi emosional”

Kampus adalah rumah bagi kaum intelektual begitupun sebuah lembaga yang bernama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), BEM tergambar bagi benak seorang mahasiswa baru (maba) sebagai sarang manusia-manusia kritis yang selalu haus dengan pengetahuan, begerak berdasarkan kepahaman, berjuang berasaskan keberpihakan. Itulah hal yang saya rasakan saat menjadi maba, namun semakin memahami dunia kampus, hanya sebagian orang saja yang terlihat memiliki nyawa-nyawa negarawan muda, begitupula dengan BEM, sedikit sekali yang mau bergerak berdasarkan nalar intelektual namun cenderung melampiaskan birahi emosional.

Aktivis BEM seakan sulit melupakan nostalgia perjuangan kakak-kakanya di era 98, bagi mereka kakak-kakak mereka seakan menjadi pahlawan yang mampu menggulingkan diktator dan membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia, mereka berfikir perlawanan kepada seorang penguasa adalah sebuah kewajiban utama, menyuarakan aspirasi rakyat kecil adalah sebuah tanggung jawab moral namun terkadang lupa nalar intelektual sebagai dasar keberpihakan dalam berjuang.

Mandulnya Kreativitas dalam Melakukan Transformasi Gerakan Mahasiswa

Hari ini kebanyakan BEM umumnya seakan kehilangan kepercayaan dari sebagian besar mahasiswa, karena masih banyak mahasiswa menganggap bahwa BEM adalah organisasi mahasiswa yang berjuang dengan cara kuno, dan bagi masyarakat BEM tak begitu bisa diharapkan karena tak begitu banyak produk dari proses demonstrasi yang mereka lakukan. Hal lain yang membuat rusak citra BEM sebagai lembaga perjuangan mahasiswa adalah distrust masyarakat khususnya mahasiswa yang kebanyakan mengangap aktivis BEM adalah underbow partai politik. Maka nostalgia perjuangan mahasiswa 98 seakan mimpi manis yang terkubur sebagai kenangan dan seakan sulit terjadi lagi bagi aktivis BEM saat ini.

Kreativitas dalam melakukan transformasi gerakan adalah hal yang dinanti bagi mahasiswa, apalagi dengan kecanggihan teknologi saat ini, ketika sebuah BEM mampu melahirkan kreativitas gerakan maka ada harapan BEM menjadi lembaga humanis yang mampu merangkul mahasiswa dan masyarakat untuk berkontribusi membangun bangsa ini.

Menurut saya (pandangan dari kampus UGM) beberapa BEM seakan lupa bahwa dibawah mereka ada Himpunan Mahasiswa (HM), Keluarga Mahasiswa (KM) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang sudah sepatutnya BEM mampu menjadi pelayan dalam mengoptimalkan lembaga-lembaga tersebut, aktivis BEM seakan sibuk mengkaji dan mengkritisi pemerintah tapi lupa memberikan pelayanan optimal kepada lembaga mahasiswa dibawahnya dan mahasiswa pada umumnya. Ketika BEM mampu bersinergi dengan lembaga dibawahnya maka kreativitas gerakan itu akan lahir dengan sendirinya, karena sejatinya sebuah gerakan tentu berbicara masa dan pengaruh.

Nalar Intelektual Yang Dinomor Sekiankan

Usaha melakukan transformasi gerakan membawa aktivis BEM untuk mengikuti zaman dan terbawa arus pergaulan mahasiswa hedon, event adalah salah satu media agar BEM dikenal dekat dengan mahasiswa, terkhusus event berbau hura-hura seperti musik dan olahraga.Kecanduan produktivitas event membuat beberapa BEM menjadi  sakau, mereka dengan bangganya menampilkan hasil konser yang mereka buat, acara besar yang mampu menghibur mahasiswa dan masyarakat, hal ini boleh namun jangan sampai mematikan nalar para pejuang muda.

Ketakutan yang menghantui aktivis senior adalah staff baru BEM yang “sakau event”, event mengajari otak mereka malas memikirkan permasalahan bangsa di sektor strategis, event membuat mereka lupa berfikir bagaimana caranya mengambil peran dalam upaya menghapus angka kemiskinan negara, dan event membuat mereka tenang dan nyaman berdendang di sekretariat.

Sangat jarang ditemukan kajian kritis yang dilahirkan aktivis BEM saat ini, kajian mereka seakan sebatas kertas HVS yang nantinya hanya menjadi pembungkus gorengan, minim sekali hasil produktif dari kajian yang mereka lakukan, pemerintah semakin leluasa karena mahasiswa sudah lemah dalam beropini mengkritisi pemerintahan.

Prajurit Intelektual adalah anggota BEM yang berfikir dengan nalar dan berjuang dengan keberpihakan, maka penyebab perlahan punahnya prajurit intelektual ini adalah kegamangan transformasi gerakan dan sakau event yang terjadi dibeberapa BEM, maka tak heran jika kedepan BEM hanya sebagai lembaga hura-hura namun ketika ada permasalahan bangsa mereka menunjukkan kebodohan mereka dengan teriakkan keberpihakan kepada rakyat.

Keluar dari Pengaruh Partai Politik!

Seperti saya jelaskan di paragraf pembuka, partai politik (parpol) menjadi salah satu alasan distrust mahasiswa dan masyarakat kepada sebuah lembaga yang bernama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Hal ini memang benar adanya, karena salah satu Ketua BEM di salah satu universitas negeri mengatakan kepada saya pernah diundang dalam sebuah forum oleh ketua partai politik bersama beberapa Ketua BEM lain yang dikhususkan. Adalah sebuah pengkhianatan intelektual ketika seorang aktivis BEM menjadi tangan kanan partai politik apalagi dengan memberikan pengaruh parpol kedalam BEM mereka. Kita boleh saja menjadi bagian dari politik karena partai politik pun masuk dalam konstitusi negara, namun masanya adalah nanti ketika kita terlepas dari status mahasiswa.

Menarik jika mengkaji pertanyaan apakah salah aktivis BEM masuk parpol saat ia masih di lembaga, jawabannya adalah jelas salah, karena bukan saatnya, masuk partai politik pastinya membuat aktivis BEM terikat dengan parpol ditambah rapor merah parpol saat ini. Kembali berbicara tentang mimpi tumbuhnya prajurit-prajurit intelektual tangguh, bagaimana mereka mau tumbuh jika nalar mereka dimatikan oleh kebuasaan parpol dalam hal kekuasaan. Maka adalah sebuah kewajiban aktivis BEM keluar dari belenggu parpol dan bergerak atas dasar kesadaran berfikir dari nalar mereka.

Saat ini PR besar BEM sebagai organisasi pergerakan mahasiswa adalah melahirkan ruang-ruang intelektual agar memantik mahasiswa untuk terus berfikir bagi bangsa ini, meramaikan sekretariat dengan debat intelektual berdasarkan data, dan tulisan progressif yang mampu memantik semangat mahasiswa untuk ikut berjuang. Karena saya yakin banyak mahasiswa dan masyarakat yang merindukan nalar kritis aktivis BEM dalam membangun peradaban bangsa ini.

Kepercayaan adalah harga mati yang harus dibayar, adalah sebuah keniscayaan sebuah perjuangan tanpa kepercayaan, maka bergerak lah kau wahai aktivis, bergeraklah berdasarkan keberpihakan, kepada rakyat dan bangsamu, bukan bergerak kepada golongan atau kelompokmu, keluarlah dari bayang-bayang partai politik atau siapapun yang mengekang hak-hak intelektualmu, berifkirlah bebas dan merdeka serta perjuangkan apa yang kau anggap benar itu.

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” (Tan Malaka)